Book Smart vs Street Smart: Lebih Baik Jadi yang Mana?

Sebenarnya, lebih baik jadi orang yang book smart atau street smart, sih?

Book smart atau “pinter buku” itu sederhananya mendeskripsikan seseorang yang pintar secara akademis. Dalam dunia pendidikan formal, dia well-educated banget, deh, pokoknya. Apapun yang dia katakan dan lakukan selalu berdasarkan pengetahuan dan insight yang dia dapatkan dari pembelajaran yang terstruktur (sekolah) dan buku-buku.

Sedangkan street smart adalah kepintaran yang dimiliki seseorang yang berasal dari pengalaman yang dia dapatkan sendiri di dunia nyata dan diluar lingkup pendidikan formal, alias “belajar sambil jalan”. Berbanding terbalik dengan si book smart, si street smart selalu bertutur dan berperilaku dalam cara yang lebih fleksibel karena sangat mengandalkan common sense dan pendekatan yang lebih praktikal.

Nah, dari sini muncul banyak argumen-argumen kalau menjadi salah satu pasti lebih baik dibanding menjadi yang satunya lagi. Ada yang bilang mendingan jadi books smart karena prestasi akademis selalu membuka jalan kesuksesan, dan ada juga yang menganggap lebih baik jadi street smart karena bisa menghadapi situasi sehari-hari lebih baik.

Masing-masing kepintaran memang punya keunggulan yang kece. Akan tetapi, mereka tetap nggak terlepas dari sisi-sisi minusnya, lho.

Menjadi seorang book smart emang bakalan membawa banyak keuntungan bagi kamu di sisi akademik. Contoh kecilnya, nilai raport kamu dijamin bisa membuat kamu lolos seleksi PTN. Diajak debat soal apapun juga oke banget, karena dia memiliki dasar pengetahuan yang sangat luas. Tapi, karena keseringan berkutat dengan sesuatu yang sangat “terstruktur”, kebanyakan book smart nggak memiliki common sense yang kuat.

Percaya, deh, masih banyak para book smart di luar sana yang masih struggling dalam menerapkan teori yang dia punya dan melakukan tugas-tugas receh yang nggak punya “buku panduan”. Dia boleh aja jago matematika, tapi ternyata nggak ngerti gimana caranya nawar cabe di pasar. Ilmu matematikanya jadi nggak guna, deh.

Beda halnya dengan seorang street smart. Mereka dikenal sebagai pemecah masalah yang baik karena kemampuannya membaca kondisi dan memberi solusi yang applicable berdasarkan pengalaman yang dia dapatkan. Common sense mereka jalan banget, dan hal ini membuat mereka lebih peka dengan sekelilingnya dan memudahkan mereka berinteraksi dengan orang lain.

Meskipun begitu, common sense yang kinclong aja nggak cukup untuk mengejar kesuksesan, lho. Kalau kamu hanya mengandalkan “jago di jalanan” dan kepekaan tanpa ilmu atau teori yang mendasarinya, sama aja kamu bicara omong kosong. Kalau ada calon kepala daerah yang pandai berorasi tapi punya background pendidikan yang dipertanyakan, pasti kamu juga bakal mikir dua kali sebelum mendukung dia.

Jadi, kalau kamu benar-benar mau mengembangkan kemampuan dan potensi diri kamu semaksimal mungkin—kenapa nggak jadi keduanya aja?

Coba deh, kamu posisikan book smart dan street smart sebagai dua sisi mata koin. Keduanya nggak bisa dipisahkan, dan nggak bisa dikatakan sebagai “koin” kalau hanya punya satu sisi. Iya dong, ah. Mana pernah kamu nemu koin bentukannya satu dimensi?

Daripada memandang satu kepandaian lebih berguna daripada kepadandaian yang lain, lebih bijaksana kalau kamu menganggap keduanya sebagai hal yang saling melengkapi.

3

Yup, book smart nggak bakal ada gunanya kalau kamu juga nggak punya sisi street smart. Si master matematika bakal bisa dapetin cabe dengan harga murah dengan skill negosiasi, dan si calon kepala daerah bakal lebih mudah dapetin kepercayaan dari rakyat kalau dia mengantongi ijazah sarjana. Simpel banget, ‘kan?

Ini sama halnya ketika kamu membandingkan hard skill vs soft skill atau otak vs otot, gaes. Nggak ada satu sisi yang bisa meng-overpowering sisi lain. Nilai akademis yang mumpuni nggak akan ada gunanya ketika mencari kerja kalau kemampuan berorganisasi kamu nggak terasah. Kuli proyek nggak bakal aman hidupnya kalau nggak sungguh-sungguh memahami keselamatan kerja. Percaya deh, jago di dua-duanya nggak sesulit itu, kok.

So let us all be the best of both worlds.

(sumber gambar: companyshortcuts.com, spectator.co.uk, wixstatic.com, michaelpeters.org)

POPULAR ARTICLE
LATEST COMMENT
User Test | 2 bulan yang lalu

For other uses, see Smiley (disambiguation). Several terms redirect here. For other uses, see Smiley Face (disambiguation) and Happy face (disambiguation). Example of a smiley face An example of an emoticon smiley face (represented using a colon followed by a parenthesis)…

7 Cara Mengetahui Karakter Seseorang yang Sebenarnya dan Sisi Tersembunyi Mereka
User Test | 2 bulan yang lalu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Wajah smiley Smiley (terkadang disebut wajah bahagia atau wajah tersenyum) adalah sebuah representasi khas dari wajah humanoid tersenyum yang merupakan sebuah bagian dari budaya populer di seluruh dunia. Bentuk klasiknya yang dirancang oleh…

5 Trik Gampang Untuk Lebih Berhemat di Mall
John Doe Siap Sekolah | 2 bulan yang lalu

Komentar yang membangun untuk artikel biasanya fokus pada memberikan umpan balik yang positif dan spesifik, serta saran yang dapat membantu penulis meningkatkan kualitas artikelnya. Komentar ini juga harus sopan, konstruktif, dan berfokus pada perbaikan, bukan pada kritik yang merusak. Contoh Komentar…

Kehidupan Sehari-Hari Anak Kostan VS Anak Rumahan
Syahrul Fahmi | 2 bulan yang lalu

Anda tidak dapat mengubah setelan komentar jika: https://support.google.com/youtube/answer/9482556?hl=id Audiens channel atau video ditetapkan sebagai “Dibuat untuk Anak-Anak”. Komentar dinonaktifkan di video yang ditetapkan sebagai Dibuat untuk Anak-Anak. Video disetel ke pribadi. Jika Anda ingin…

Siapa Sangka Sumpit Punya Sejarah, Filosofi, Fungsi, dan Tata Pemakaian yang Seru?
Dibuat dan dikembangkan di Jakarta, Indonesia Hak Cipta Dilindungi 2015 - 2025 PT Manual Muda Indonesia ©